Home ~ Artikel LDII ~ Opini ~ The Unspoken Hero

The Unspoken Hero

Di sebuah pagi yang cerah, matahari melongok dari balik awan mendelikkan sinar indahnya. Titik-titik air yang menggenang di atas dedaunan perlahan menguap. Seketika itu bau segar khas pagi hari paska hujan deras semalam merebak ke seluruh penjuru taman. Baunya segar sekali hingga membuat setiap orang yang menciumnya seperti terlahir kembali.

Tak terkecuali dengan seorang kakek di usia akhir 60-an yang sedang melakukan rutinitas pagi harinya. Ia berjalan dengan riang seakan kembali muda lagi. Badannya sangat tegap untuk ukuran kakek-kakek seumurannya. Langkah kakinya juga begitu tegas seakan ada komandan yang mengawasinya. Meskipun sendi-sendi lututnya sudah tak kuat lagi menanggung beban tubuhnya yang terasa semakin berat. Dilihatnya kursi taman beberapa meter di depannya sedang kosong. Segera ia mengambil duduk disana untuk meredakan kelelahannya.

Setelah mendapatkan tempat yang diinginkan, ia mulai menutup mata, mengambil nafas dan mengeluarkannya. Begitu seterusnya hingga ia yakin seluruh oksigen terbaik di pagi hari itu berhasil ia serap.
Di tengah-tengah ritualnya, seorang laki-laki 30 tahun-an berseragam militer dengan beberapa pangkat tersusun di pundaknya berjalan cepat seiring dengan bunyi tegas dari sepatu pantofelnya. Laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat di samping kursi yang diduduki kakek itu.

Ia berdiri cukup lama menunggu si kakek menyadari kehadirannya. Tapi orang yang diharapkan sadar tak juga menghentikan ritualnya. Wajahnya mengeras mengeluarkan aura yang cukup tak enak. Kata-kata yang ditahannya dengan sabar sudah tak kuat lagi untuk segera dikatakannya.

“Ayah, aku ingin bercerai.”

Sependek itu dan setegas itu ia ucapkan hingga membuat kakek itu tersedak dengan nafasnya sendiri. Kakek itu menoleh ke sumber suara dan mendapati laki-laki muda gagah di hadapannya dengan ekspresi yang sama persis saat laki-laki muda itu dihajar teman sekelasnya di bangku sekolah dasar. Wajah sedih yang tak sanggup menangis karena tak ingin kehilangan harga diri sebagai laki-laki. Seperti itulah.
Kakek itu menghela nafas panjang. “Apa kau sudah makan?”
Laki-laki itu menggeleng.

“Mari kita cari bubur kesukaanmu.”
Keduanya berjalan beriringan hingga duduk berhadapan di sebuah kedai bubur legendaris yang tak jauh dari taman.

“Apa wktu seperti ini pantas untuk duduk santai menikmati bubur?”
Laki-laki itu merengut tak habis pikir dengan respon Ayah yang dijadikan panutannya itu.
“Sudaaah. Ayo kita makan dulu.” Kakek itu kekeuh dengan pendiriannya.
Bubur yang mereka pesan datang. Tanpa ba-bi-bu mereka melahap bubur itu hingga tandas tak bersisa sedikitpun.
“Enak?” tanya Kakek itu puas melihat putra kebanggaannya lahap seperti tak pernah makan setahun.
“Sangat enak.”
“Ayah tak akan beritahukan ucapanmu tadi pada Ibumu. Kita sudahi pembicaraan itu sampai disini.”
“Kali ini aku serius. Aku sudah cukup dewasa. Sangat dewasa. Aku bilang pada Ayah bukan untuk meminta ijin tapi aku hanya memberitahukannya saja. Sepulang dari sini entah Ayah dan Ibu mengizinkan atau tidak aku akan tetap bercerai dengan Melati.”

Sang Ayah mau tidak mau harus mendengar rengekan putranya ini. Karena tampaknya kali ini benar-benar tak main-main.
“Memangnya apa lagi kali ini?”
“Aku amat sangat tidak habis pikir pada Ayah. Kenapa sih Ayah tahan hidup dengan Ibu yang bahkan tak pernah memasakkan makanan kesukaan Ayah. Setiap hari hanya tempe-tahu, tempe-tahu saja. Bumbu bacem, bumbu balado, bumbu kare, semuanya dengan tempe dan tahu. Apa Ayah tahan dengan perempuan seperti itu?”

Rasanya perkataan putranya itu seperti petir di pagi buta. Begitu mencengangkan. Ia tahu putranya sedang diliiputi api kemurkaan. Dibiarkannya ia selesai dengan kata-katanya.
“Dan apa Ayah tahu? selama sepuluh tahun ini aku hidup dengan wanita yang sama persis dengan Ibu.”
“Nah, impian setiap anak laki-laki kan menikah dengan wanita yang mirip dengan ibunya.” Canda sang Ayah seraya terkekeh girang.
Tentu setelahnya diikuti dengan ekspresi cemberut dari putranya.
Ayahnya terdiam bersiap membeberkan kisah dibalik tempe dan tahu yang selalu tersaji di meja makan mereka setiap hari.
“Kau mau tahu kenapa Ibumu hanya menyajikan tempe dan tahu?”
Laki-laki muda itu siap menanti jawaban.
“Kau masih ingat saat Ayah harus bertugas ke Timor-Timor?”
Laki-laki muda itu mengangguk.
“Sama seperti saat dirimu ditugaskan oleh negara untuk berangkat ke Timur Tengah untuk ikut angkat senjata disana, Ibumu juga saat itu kutinggalkan sendiri bersama ketiga saudaramu dan kau sebagai bungsunya. Dia kutinggalkan tanpa seorang sanak saudara pun seperti juga Melati.”
Mata sang Ayah berkaca-kaca mengingat masa-masa sulit dalam hidupnya.
“Berpisah dengan Ibumu sudah cukup sulit bagiku. Tapi bagi Ibumu lebih sulit lagi ditinggalkan angkat senjata oleh suaminya yang tak tentu kapan pulangnya dengan empat orang anak yang harus selalu terjaga kebutuhan dan keperluannya. Bahkan ia tak tahu aku akan pulang dengan gelar nama atau pulang tinggal nama. Tapi ia menguatkan dirinya dengan berhemat sebaik mungkin agar tak bingung jika ada keperluan tak terduga hingga hanya bisa memberikan anak-anaknya makanan seadanya.”

Laki-laki muda itu merasa tertampar dengan ucapan sang Ayah. Ia pun teringat ketika ia pergi angkat senjata ke Palestina, ia meninggalkan istrinya dengan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, apa daya sang istri hanya bisa memasak menu murah dan seadanya karena ia harus bersiap terhadap kejadian apa saja yang terjadi selama sang suami pergi menunaikan tugas negara.

“Kita berdua dielu-elukan sebagai pahlawan yang bertempur di medan perang rasanya tak ada apa-apanya dengan kedua perempuan itu. Mereka selalu terjaga dalam posisi siap perang dengan bersedia hidup prihatin makan seadanya agar bisa menabung lebih banyak. Maafkanlah mereka, karena mereka hanya tak tahu bahwa ‘perang’ sudah berakhir.”

Diresapinya kata demi kata yang diucapkan sang Ayah.
“Tahukah kau kalau keberuntungan seorang pria tergantung siapa wanitanya.”
Laki-laki muda itu tercengang mendengarnya.

“Suatu hari, Barack Obama dan sang istri berkunjung ke sebuah restoran kecil, ternyata sang pemilik adalah mantan pacar sang istri. Lalu Obama berujar pada sang istri, ’Jika kau menikah dengannya, mungkin kau hanya akan menjadi istri pemilik restoran ini.’ Namun langsung dijawab oleh sang istri, ‘Kau salah. Jika aku dulu menikah dengannya. Dia lah yang akan menjadi Presiden Amerika.’ “
Keduanya tersenyum.
“Istrimu, Melati, dialah pahlawanmu. Bagiku, Ibumu, dialah pahlawanku.” (Marrisa Rizqil)

#CERPEN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *